Integrasi Itik dengan Lele
Rabu, 23 Mei 2018
Jumat, 23 Februari 2018
Pesona Wisata Alam di Kecamatan Tarano
"Pesona Wisata Alam di Kecamatan Tarano"
Kecamatan tarano merupakan salah satu kecamatan pemekaran dari kecamatan ampang yang dimana kecamatan tarano bisa di katagorikan baru seumur jagung, yang berada di wilayah Timur kabupaten Sumbawa, selain berada di titik inti teluk saleh, sebagai danau yang dijadikan laboratorium dalam berbagai ilmu pengetahuan, selain maritim, bahari, sosiologi, bahkan teluk yang dijadikan sebagai danau laut terbesar tersebut sangat layak dijadikan sebagai museum bawah laut, selain itu kecamatan tarano juga memiliki pesona alam yang sangat luar biasa indahnya salah satunya adalah Gili Dewa yang terletak di pantai desa (jemplong), sebagi pulau dengan luas 1,70 hektar, sangat mirip kontur geografinya dengan tanah Lot (Bali) , Gili dewa yang tidak jauh dari daratan, untuk menuju Gili dewa hanya mengunakan transfortasi perahu kurang lebih 5 menit sampi ke lokasi, dan bagi pecinta travling bisa bermalaman di Gili dewa dan menikmati suasana indahnya malam hari di Gili dewa, dan bisa menikmati indahnya sunset dan sandres. selain itu juga bisa daiving di sekitaran gili dewa dan menikmati indahnya terumbuh karang yang masih terjaga indahnya.
selain itu Kecataman Tarano, yang didalamnya terdapat lokasi pemukiman tua (Tangko) Desa Banda, dan Perigi (Desa Ongko) Dusun Majapahit, Dusun Malalo-Taratai, Lokasi Pampang-tampar Belo (Labu Bonto), sehingga di kenal sebagai wilayah kerajaan kuno Sumbawa, Kerajaan Batara Tangko (fase Budha-Hindu), diperkuat dengan banyaknya penamaan lokasi atau objek di wilayah Kecamatan tersebut yang banyak mengandung unsur Dewa.
Selasa, 20 Februari 2018
metode pembuatan kompos metode takakura dan pembuatan biogas
LAPORAN
PRAKTIKUM
PEMBUATAN KOMPOS METODE TAKAKURA
DAN PENGAMATAN PEMBUATAN BIOGAS
“Laporan ini
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Salah Satu Mata Kuliah Manajemen Pengolahan Limbah”
Disusun
Oleh :
Kelompok
IV (Empat)
Ø ARDIANSYAH. A
Ø LITA YULIARTI
Ø EKA SUSANTI
Ø HERU ARWIN ARDHANI
Ø JUNAIDI
Ø BAYU SAPUTRA
PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS SAMAWA (UNSA)
SUMBAWA BESAR
2016
HALAMAN
PENGESAHAN
MANAJEMEN PENGOLAHAN LIMBAH
Lembaran kegiatan mahasiswa ini merupakan gambaran
tentang kegiatan
selama
pelaksanaan praktikum Pembuatan Kompos Metode Takakura
dan Pengamatan Pembuatan Biogas.
Telah disetujui/disahkan
Pada Tanggal,
Juli 2016
PRAKTIKAN
Kelompok IV
|
Mengatahui,
Dosen Pengampu
Dwi Mardhia,
M.Sc
NIDN.45 67891234
|
KATA
PENGANTAR
Puji
dan syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkah, sehingga
penyusun dapat menyelesaikan praktikum yang berjudul “Pembuatan Pupuk Kompos
Dengan Metode Takakura dan Pengamatan Pembuatan Biogas” yang dimana laporan
praktikum ini merupakan tugas Mata Kuliah “Manajemen
Pengolahan Limbah”.
Penyusun
mengucapkan terima kasih yang sebesar - besarnya kepada semua pihak yang telah
mendukung dan membantu dalam menyelesaikan penyusunan laporan praktikum ini, sehingga praktikkum ini dapat penyusun
terselesaikan tepat pada waktunya.
Dalam
hal menyusun laporan praktikum ini, penyusun menyadari bahwa laporan praktikum
ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu
penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak guna menyempurnakan laporan praktikum selanjutnya, semoga praktikum
ini bermanfaat bagi kita semua.
Sumbawa,
Juni 2016
Kelompok IV
DAFTAR
ISI
Halaman
HALAMAN
JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN...................................................................... i
KATA PENGANTAR.............................................................................. ii
DAFTAR ISI.............................................................................................. iii
DAFTAR TABEL..................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR................................................................................ vi
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang............................................................................... 1
1.2 Tujuan
........................................................................................... 6
1.3 Manfaat.......................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kompos........................................................................................... 7
2.2
Membuat Bibit Kompos Takakura
2.3
Starter Mikroorganisme................................................................... 10
2.4
Potensi Limba Ternak Sebagai Kompos......................................... 11
2.5
Faktor-faktor yanga Mempenggaruhi Pengomposan...................... 12
2.6
Pengertian Biogas........................................................................... 15
2.7
Proses Pembuatan Biogas............................................................... 16
2.8
Teknologi Digester.......................................................................... 19
2.9
Manfaat Biogas............................................................................... 20
2.10
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesuksesan Pemanfaatan Biogas Kotoran Ternak 20
2.11
Potensi Limbah Ternak Sebagai Biogas........................................ 24
BAB III PENUTUP
3.1
Waktu dan Tempat.......................................................................... 25
3.2
Alat dan Bahan............................................................................... 25
3.3
Langkah Kerja................................................................................. 26
3.4
Instalasi Biogas............................................................................... 27
BAB IV PEMBAHASAN
4.1
Hasil Pengamatan Pembuatan Kompos.......................................... 28
4.2
Pembahasan Kompos...................................................................... 29
4.3
Pembahasan Biogas......................................................................... 30
BAB V PENUTUP
5.1
Kesimpulan..................................................................................... 32
5.2
Saran............................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 34
LAMPIRAN-LAMPIRAN....................................................................... 38
DAFTAR
TABEL
Tabel Halaman
1. Kandungan
N, P dan K dalam Kotoran Sapi..................................... 14
2. Komposisi
Biogas (%) Kotoran sapi dan campuran kotoran ternak dengan
sisa
pertanian....................................................................................... 17
3. Hasil
Pengamatan Kompos.................................................................. 28
DAFTAR
GAMBAR
Tabel Halaman
1. Instalasi
Biogas ........................................................................................... 27
DAFTAR
LAMPIRAN
Tabel Halaman
1. Hasil
Dokumentasi Pembuatan Kompos............................................ 38
2. Hasil
Dokumentasi Pengamatan Biogas............................................. 39
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengelolaan limbah yang dilakukan dengan baik selain dapat mencegah
terjadinya pencemaran lingkungan juga memberikan nilai tambah terhadap usaha
ternak. Pemanfaatan limbah kotoran ternak sebagai pupuk kompos dapat
menyehatkan dan menyuburkan lahan pertanian. Selain itu kotoran ternak juga
dapat digunakan sebagai sumber energi biogas. Sumber energi biogas menjadi
sangat penting karena harga bahan bakar fosil yang terus meningkat dan
ketersediaan bahan bakar yang tidak konstan dipasaran, menyebabkan semakin terbatasnya
akses energi bagi masyarakat termasuk peternak. secara praktis manajemen limbah
kotoran untuk dijadikan biogas dan kompos (Dahuri,
2004).
Limbah ternak masih mengandung
nutrisi atau zat padat yang potensial untuk mendorong kehidupan jasad renik yang
dapat menimbulkan pencemaran. Suatu studi mengenai pencemaran air oleh limbah
peternakan melaporkan bahwa total sapi dengan berat badannya 5.000 kg selama
satu hari, produksi manurenya dapat mencemari 9.084 x 10 7 m3 air.
Selain melalui air, limbah peternakan sering mencemari lingkungan secara
biologis yaitu sebagai media untuk berkembang biaknya lalat. Kandungan air
manure antara 27-86 % merupakan media yang paling baik untuk pertumbuhan dan
perkembangan larva lalat, sementara kandungan air manure 65-85 % merupakan
media yang optimal untuk bertelur lalat. Lalu, dampak bagi sebagian besar warga
adalah teternak dapat menyebabkan pencemaran udara yang mengakibatkan
terciumnya aroma tidak sedap dari limbah/kotoran ternak (Anonim, _)
Pemanfaatan limbah peternakan
(kotoran ternak) merupakan salah satu alternatif yang tepat untuk mengatasi
kelangkaan bahan bakar minyak. Limbah ternak merupakan sisa buangan dari suatu
kegiatan usaha peternakan seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah potong
hewan, pengolahan produksi ternak dan lain – lain. Limbah tersebut meliputi
limbah padat dan limbah cair seperti feses, urine, sisa makanan, embrio, kulit
telur, lemak, darah, bulu, kuku, tulang, tanduk, dan isi rumen (Sihombing,
2000).
Dalam konteks itu
pemantaan kotoran ternak sebagai sumber energi (bahan bakar) merupakan salah
satu alternatif untuk mengurangi penggunaan minyak tanah dan kayu untuk
keperluan rumah tangga. Dari kotoran ternak dapat dihasilkan 2 jenisbahan bakar
yaitu (gas bio) dan briket. Kendala pembuatan briket yang secara tradisional
adalah pada alatnya. Alat pembuat briket yang modern pasti sangat mahal. Oleh
karena itu penting sekali bagi kita untuk bisa menciptakan briket kotoran
ternak beserta alat pencetaknya yang sederhana (Sihombing, 2000).
Menurut Prihandini dan purwanto
(2007), kompos merupakan pupuk organik yang berasal dari sisa tanaman dan
kotoran hewan yang telah mengalami proses dekomposisi atau pelapukan. Selama
ini sisa tanaman dan kotoran hewan tersebut belum sepenuhnya dimanfaatkan sebagai
pengganti pupuk buatan. Kompos yang baik adalah yang sudah cukup mengalami
pelapukan dan dicirikan oleh warna yang sudah berbeda dengan warna bahan
pembentuknya, tidak berbau, kadar air rendah dan sesuai suhu ruang. Proses dan
pemanfaatan kompos dirasa masih perlu ditingkatkan agar dapat dimanfaatkan
secara efektif, menambah pendapatan peternak dan mengatasi pencemaran
lingkungan (Dahuri, 2004).
Kotoran sapi yang tersusun dari
feses, urin, dan sisa pakan mengandung nitrogen yang lebih tinggi dari pada yang
hanya berasal dari feses. Jumlah nitrogen yang dapat diperoleh dari kotoran
sapi dengan total bobot badan ± l20 kg (6 ekor sapi dewasa) dengan periode
pengumpulan kotoran selama tiga bulan sekali mencapai 7,4 kg. Jumlah ini dapat
disetarakan dengan 16,2 kg urea (46 % nitrogen) (Setiawan, 2002).
Menurut pendapat Rahayu et a1l., (2009), kotoran yang baru
dihasilkan sapi tidak dapat langsung diberikan sebagai pupuk tanaman, tetapi
harus mengalami proses pengomposan terlebih dahulu. Beberapa alasan mengapa
bahan organik seperti kotoran sapi perlu dikomposkan sebelum dimanfaatkan
sebagai pupuk tanaman antara lain adalah: 1) bila tanah mengandung cukup udara
dan air, penguraian bahan organik berlangsung cepat sehingga dapat mengganggu
pertumbuhan tanaman, 2) penguraian bahan segar hanya sedikit sekali memasok
humus dan unsur hara ke dalam tanah, 3) struktur bahan organik segar sangat
kasar dan daya ikatnya terhadap air kecil, sehingga bila langsung dibenamkan
akan mengakibatkan tanah menjadi sangat remah, 4) kotoran sapi tidak selalu
tersedia pada saat keperluan, sehingga pembuatan kompos merupakan cara
penyimpanan bahan organik sebelum digunakan sebagai pupuk.
Menurut Prihandini & Purwanto
(2007) proses pengomposan adalah proses menurunkan C/N bahan organik hingga
sama dengan C/N tanah (< 20). Selama proses pengomposan, terjadi perubahan
unsur kimia yaitu : 1) karbohidrat, selulosa, hemiselulosa, lemak dan lilin
menjadi CO2 dan H2O, 2) penguraian senyawa organik
menjadi senyawa yang dapat diserap tanarnan.
Menurut Indriani (2012), bahan yang
berukuran lebih kecil akan lebih cepat proses pengomposannya karena semakin
luas bahan yang tersentuh dengan bakteri. Oleh karena itu untuk mempercepat
proses tersebut ukuran, bahan perlu diperkecil dengan cara dipotong atau
dicacah. Pada dekomposisi aerob, oksigen harus cukup tersedia di dalam
tumpukan. Apabila kekurangan oksigen, proses dekomposisi tidak dapat berjalan.
Agar tidak kekurangan oksigen, tumpukan kompos harus dibalik minimum seminggu
sekali.
Menurut pendapat Murbandono (2000),
kelembaban di dalam timbunan kompos harus dijaga, karena kelembaban yang tinggi
(bahan dalam keadaan becek) akan mengakibatkan volume udara menjadi berkurang.
Semakin basah timbunan bahan maka kegiatan mengaduk harus makin sering dilakukan.
Dengan demikian, volume udara terjaga stabilitasnya dan pembiakan bakteri anaerob bisa dicegah. Menjaga kestabilan
suhu pada suhu ideal 40 - 500C amat penting dalam pembuatan kompos.
Suhu yang kurang akan menyebabkan bakteri pengurai tidak bisa berkembangbiak
atau bekerja secara wajar. Suhu yang terlalu tinggi bisa membunuh bakteri
pengurai. Adapun kondisi yang kekurangan udara dapat memacu perrumbuhan bakteri
anaerob.
Menurut Susanto (2002), terdapat
bermacam-macam metode pengomposan yang telah dikembangkan dan dipraktekkan di
Indonesia, baik yang bersifat sederhana maupun modern dengan skala industri.
Model pengomposan dilaksanakan dengan cara ditimbun atau dipendam, dibungkus
dengan kantong plastik dan menggunakan tong sampah.
Cukup banyak metode yang dapat
digunakan dalam proses pengomposan masing-masing metode mempunyai kelebihan dan
kelemahan baik ditinjau dari bahan dasar maupun metode yang digunakan. Dalam
proses pengomposan yang diperlukan adalah kesungguhan petani untuk mengolah
limbah organik menjadi kompos.
Biogas
adalah gas yang dihasilkan oleh proses fermentasi dari bahan-bahan organik,
termasuk kotoran manusia dan hewan, limbah rumah tangga, dan sampah-sampah
organik secara anaerobik. Biogas dapat digunakan sebagai bahan bakar dan juga
dapat menghasilkan listrik. Ada beberapa alasan mengapa biogas merupakan bahan
bakar alternatif terbaik, di antaranya biogas memproduksi bahan bakar ramah
lingkungan, biogas memiliki kandungan energi dalam jumlah yang besar, dan
limbah biogas dapat dimanfaatkan sebagai pupuk (Putro, 2007).
Biogas
menghasilkan bahan bakar ramah lingkungan. Biogas terbuat dari bahan-bahan
alami, seperti kotoran manusia dan hewan, serta limbah-limbah organik lain.
Karbon dalam biogas merupakan karbon yang diambil dari atmosfer oleh
fotosintesis tanaman, sehingga bila dilepaskan lagi ke atmosfer tidak akan
menambah jumlah karbon di atmosfer bila dibandingkan dengan bahan bakar fosil.
Biogas juga tidak menghasilkan limbah yang bisa mencemari lingkungan. Gas
metana dalam biogas bisa terbakar sempurna. Sebaliknya, gas metana dalam bahan
bakar fosil tidak bisa terbakar sempurna dan akan membahayakan lingkungan.
Seperti kita ketahui, metana termasuk dalam gas-gas rumah kaca yang bisa
menyebabkan pemanasan global (global
warming). Sehingga penggunaan biogas bisa mencegah resiko terjadinya global
warming (Putro, 2007).
Teknologi
biogas sebenarnya bukan sesuatu hal yang baru. Berbagai negara telah
mengaplikasikan teknologi ini sejak puluhan tahun yang lalu seperti petani di
Inggris, Rusia dan Amerika serikat. Sementara itu di Benua Asia, India
merupakan negara pelopor dan pengguna biogas sejak tahun 1900 semasa masih
dijajahi Inggris, negara tersebut mempunyai lembaga khusus yang meneliti
pemanfaatan limbah kotoran ternak yang disebut Agricultural Research
instutute dan Gobar Gas Research Station, Lembaga tersebut
pada tahun 1980 sudah mampu membangun instalasi biogas sebanyak 36.000 unit.
Selain negara negara tersebut diatas, Taiwan, Cina, Korea juga telah
memanfaatkan kotoran ternak sebagai bahan baku pembuatan biogas (Putro,
2007).
Paling
tidak, ada dua macam Biogas yang dikenal saat ini, yaitu Biogas (yang juga
sering disebut gas rawa) dan Biosyngas. Perbedaan mendasar dari kedua bahan
diatas adalah cara pembuatannya. Biogas dihasilkan dari proses fermentasi
bahan-bahan organik dengan bantuan bakteri anaerob pada lingkungan tanpa
oksigen bebas. Energi biogas didominasi oleh gas metana (CH4)
60%-70%, karbondioksida 40%-30% dan beberapa gas lainnya dalam jumlah yang
lebih kecil. Sedangkan Biosyngas (atau lebih sering disingkat Syngas atau
Producer Gas) adalah produk antara (intermediate)
yang dibuat melalui proses gasifikasi thermokimia dimana pada suhu tinggi
material kaya karbon seperti batubara, minyak bumi, gas alam atau
<b>biomassa<b> dirubah menjadi karbon monoksida (CO) dan hidrogen
(O2). Apabila bahan bakunya batubara, minyak bumi dan gas alam, maka
disebut Syngas, sedangkan jika bahan bakunya biomassa maka disebut Biosyngas.
Biosyngas dapat digunakan langsung menjadi bahan bakar atau sebagai bahan baku
untuk proses kimia lainnya (Putro, 2007).
Pada
prinsipnya, pembuatan Biogas sangat sederhana, hanya dengan memasukkan substrat
(kotoran ternak) ke dalam digester yang anaerob. Dalam waktu tertentu Biogas
akan terbentuk yang selanjutnya dapat digunakan sebagai sumber energi, misalnya
untuk kompor gas atau listrik. Penggunaan biodigester dapat membantu
pengembangan sistem pertanian dengan mendaur ulang kotoran ternak untuk
memproduksi Biogas dan diperoleh hasil samping (by-product) berupa pupuk organik. Selain itu, dengan pemanfaatan
biodigester dapat mengurangi emisi gas metan (CH4) yang dihasilkan
pada dekomposisi bahan organik yang diproduksi dari sektor pertanian dan
peternakan, karena kotoran sapi tidak dibiarkan terdekomposisi secara terbuka
melainkan difermentasi menjadi energi gas bio (Putro, 2007).
Sebagaimana
kita ketahui, Gas metan termasuk gas rumah kaca (greenhouse gas), bersama dengan gas CO2 memberikan efek
rumah kaca yang menyebabkan terjadinya fenomena pemanasan global. Pengurangan
gas metan secara lokal ini dapat berperan positif dalam upaya penyelesaian
masalah global. Potensi kotoran sapi untuk dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan
Biogas sebenarnya cukup besar, namun belum semua peternak memanfaatkannya.
Bahkan selama ini telah menimbulkan masalah pencemaran dan kesehatan
lingkungan. Umumnya para peternak membuang kotoran sapi tersebut ke sungai atau
langsung menjualnya ke pengepul dengan harga sangat murah. Padahal dari kotoran
sapi saja dapat diperoleh produk-produk sampingan (by-product) yang cukup
banyak. Sebagai contoh pupuk organik cair yang diperoleh dari urine mengandung
auksin cukup tinggi sehingga baik untuk pupuk sumber zat tumbuh. Serum darah
sapi dari tempat-tempat pemotongan hewan dapat dimanfaatkan sebagai sumber
nutrisi bagi tanaman, selain itu dari limbah jeroan sapi dapat juga dihasilkan
aktivator sebagai alternatif sumber dekomposer (Putro, 2007).
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dalam pembuatan pupuk
kompos dengan metode takakura dan pengamatan pembautan biogas adalah sebagai
berikut:
1.2.1
Mengetahui apa yang dimaksud dengan kompos.?
1.2.2
Mengetahui bagaimana cara pembuatan bibit kompos.?
1.2.3
Mengetahui bagaimana cara pembuatan stater
mikroorganisme.?
1.2.4
Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
pengomposan.?
1.2.5
Mengetahui apa yang dimaksud dengan biogas.?
1.2.6
Mengetahui proses pembuatan biogas.?
1.2.7
Mengetahui tentang manfaat biogas.?
1.3 Manfaat
Adapun manfaat dalam pembuatan pupuk
kompos dengan metode takakura dan pengamatan pembuatan biogas adalah dapat
menambah ilmu pengatahuan khususnya tentang pembuatan kompos dan biogas.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Kompos
Kompos adalah bahan-bahan organik (sampah
organik) yang telah mengalami proses
pelapukan karena adanya interaksi antara mikro organism (bakteri pembusuk) yang bekerja di dalamnya. Bahan-bahan organik
tersebut seirerti daun, rumput,
jerami, sisa-sisa ranting dan dahan, kotoran hewan, rerontokan kembang, air kencing, dan lain-lain. Kelangsungan hidup mikroorganisme tersebut di
dukung oleh keadaan lingkungan yang basah
dan lembab (Murbandono, 2000).
Menurut Isroi & Yuliarti (2009) pengomposan adalah
proses alami dimana bahan organik mengalami
penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang
memanfaatkan bahan organik sebagai
sumber energi. Pembuatan kompos dilakukan dengan mengatur dan mengotrol proses alami tersebut agar kompos terbentuk
lebih cepat. Proses ini meliputi
pembuatan campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, pengaturan aerasi yang baik, serta penambahan
aktivator.
Kompos bisa terjadi dengan
sendirinya, lewat proses alamiah. Namun,
proses tersebut berlangsung lama sekali, dapat mencapai puluhan tahun, bahkan berabad-abad. Padahal kebutuhan akan
tanah yang subur sudah mendesak. Oleh karena itu, proses itu perlu dipercepat
dengan bantuan manusia. Bahan-bahan organik
tidak dapat langsung digunakan tanpa dikomposkan terlebih dahulu karena bahan organik yang masih mentah
tidak dapat langsung dimanfaatkan oleh tanaman.
Bahan organik itu harus diuraikan terlebih dahulu agar tanaman dapat menyerap unsur hara yang dikandungnya.
Pemakaian lansung bahan-bahan organik
justru dapat menghambat pertumbuhan tanaman karena bahan itu dapat menjadi serangan hama tempat tumbuhnya
penyakit atau dapat meracuni tumbuhan dengan
pengeluaran hasil metabolik sekunder berupa senyawa alelopati (Isroi & Yuliarti, 2009).
Tanah yang secara terus-menerus
ditanami pasti akan berkurang kesuburannya akibat kandungan unsur haranya
semakin menipis. Kandungan unsur hara pada lapisan tanah tersebut dapat
ditingkatkan kembati dengan pemupukan, disamping tergantung pada proses-proses
yang terjadi dalam pembentukan tanah. Untuk meningkatkan kandungan unsur hara
itu pupuk dibutuhkan. Seberapa pupuk yang diperlukan tentu tergantung kondisi
tanah. Menurut Balai Penelitian/Balai Teknologi Pertanian, faktor yang
menentukan berapa banyak unsur hara yang diperlukan untuk koreksi ialah kondisi
kesuburan tanah itu sendiri, kemasaman (pH), kelembaban tanah, tinggi
rendalrnya kadar bahan organik dalam tanah, kemampuan penyerapan terhadap pupuk
(zat-zat mineral) dari tanaman, faktor iklim, dan nilai ekonomi tanaman yang
dibudidayakan (Isroi & Yuliarti, 2009).
Cara untuk mengembalikan kesuburan
tanah adalah dengan menggunakan pupuk organik seperti kompos. Bahan ini
diyakini mampu meningkatkan kesuburan tanah. Pupuk organik mampu mengurangi
dampak buruk penggunaan pupuk kimia dan sekaligus mengembalikan kesuburan tanah
hingga kembali seperti semula (Isroi & Yuliarti, 2009).
Pupuk organik merupakan hasil akhir
dan atau hasil antara dari perubahan atau penguraian bagian dan sisa-sisa
tanaman dan hewan. Karena pupuk organik berasal dari bahan organik yang
mengandung segala macam unsur, maka pupuk ini pun mengandung hampir semua unsur
(baik makro maupun mikro). Hanya saja ketersediaan unsur-unsur tersebut
biasanya dalam jurnlah yang sedikit (Murbandono, 2000).
Kompos yang digunakan sebebagai
pupuk disebut pupuk organik karena penyusunnya terdiri dari bahan-bahan
organik. Kompos ibarat multivitamin bagi tanah pertanian. Kompos mampu
meningkatkan kesuburan tanah dan merangsang perakaran yang sehat. Kompos mampu
memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan bahan organik, sekaligus
meningkatkan kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan airnya. Aktivitas
mikroba yang bermanfaat bagi tanaman pun akan meningkat. Aktivitas mikroba ini
membantu tanaman untuk menyerap unsur hara dari dalam tanah dan menghasilkan
senyawa yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Aktivitas mikroba juga dapat
membantu tanaman menghadapi serangan penyakit (Isroi & Yuliarti, 2009).
Kandungan unsur hara di dalam kompos
cukup lengkap, meliputi unsur hara makro (N, P, K, Ca, Mg, S) dan unsur hara
mikro (Fe, Cu, Mn, Zn, Mo, B, Cl) yang sangat diperlukan bagi tanaman. Memang
kandungan unsur hara tersebut tidak banyak, jauh lebih sedikit dibanding
kandungan unsur hara pada pupuk kimia. Oleh karena itu, aplikasi kompos
biasanya dilakukan dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan aplikasi pupuk
kimia (Isroi & Yuliarti, 2009).
Pengolahan kotoran sapi yang
mempunyai kandungan N, P dan K yang tinggi sebagai pupuk kompos dapat mensuplai
unsur hara yang dibutuhkan tanah dan memperbaiki struktur tanah menjadi lebih
baik (Iwan, 2002). Menurut Hartuti (2007) tanah yang baik/sehat, kelarutan
unsur-unsur anorganik akan meningkat, serta ketersediaan asam amino, zat gula,
vitamin dan zat-zat bioaktif hasil dari aktivitas mikroorganisme efektif dalam
tanah akan bertambah, sehingga pertumbuhan tanaman semakin optimum.
Keunggulan lain kompos terletak pada
kandungan bahan organiknya, termasuk asam humat dan asam fulfat, yang
bermanfaat untuk memacu pertumbuhan tanaman. Dalam jangka pendek penggunaan
kompos dapat memperbaiki sifat fisik tanah dan meningkatkan aktivitas biologis
tanah dengan menyuplai sebagian kebutuhan tanaman akan unsur hara. Dalam jangka
panjang aplikasi kompos dapat mengembalikan kesuburan dan produktivitas tanah
(Isroi & Yuliarti, 2009)
2.2 Membuat Bibit Kompos Takakura
Bibit kompos takakura dibuat dari
dua bahan, yaitu dedak serta sekam padi. Perbandingan pada dedak serta sekam
yaitu satu banding satu. Dekomposer yang dipakai yaitu ke-2 larutan starter
yang telah di buat lewat cara diatas. Tersebut langkah-langkahnya (Ambarwati, 2004) :
Ø Siapkan 100
kg dedak, 100 kg sekam, starter mikroorganisme, air bersih serta terpal
plastik.
Ø Mencari
tempat yang terlindung panas serta hujan dengan basic plester atau permukaan
keras yang lain.
Ø Aduk dedak
serta sekam hingga rata. Lalu imbuhkan larutan starter yang sudah kita buat
pada awal mulanya lalu aduk hingga rata.
Ø Siram dengan
air bersih seperlunya sampai meraih kelembapan 40-60%. Untuk memperkirakan
kelembapan yaitu dengan langkah menggenggam material dengan kepalan tanagan.
Jika material telah dapat membuat serta solid itu tandanya kelembapan telah
terwujud. Tetapi jika saat dikepal keluarkan air, tandanya kelembapan telah
berlebihan.
Ø Tutup rapat
tumpukan material itu dengan terpal plastik serta diamkan sepanjang 5-7 hari.
Ø Sinyal
kompos telah masak jika permukaan tumpukan kompos diselimuti susunan mould
putih. Warna kompos coklat gembur serta tak berbau. Bibit kompos yang
dihasilkan cukup untuk 40-50 rumah tangga.
2.3 Starter Migroorganisme
Larutan starter dibuat lewat cara
mengisolasi mikroorganisme pengurai berbahan makanan seperti tempe, youghurt,
tauco, sayuran serta buah-buahan. Mikroorganisme diambil dari beberapa bahan
itu lantaran sifatnya yg tidak berbau busuk. Ada dua larutan starter yang perlu
disediakan. Pertama larutan berbasis bakteri fermentasi dengan penambahan gula.
Kedua, bakteri yang diambil dari sayuran serta buah dengan menambahkan garam. Starter
ini bakal digunakan juga sebagai dekomposer dalam pembuatan bibit kompos
takakura. Adapun cara pembuatan starter mikroorganisme (Ambarwati, 2004).
2.3.1
Starter dengan Larutan Gula
Ø Siapkan
stoples kaca ukuran lima liter, tentukan yang kedap hawa.
Ø Imbuhkan
kedalam toples 200 gr gula pasir, encerkan dengan 3 liter air bersih aduk
hingga rata.
Ø Masukkan 5 butir
ragi atau ragi tempe. Jika tak ada dapat ditukar dengan sepotong tempe atau
tape.
Ø Tutup rapat
dalam toples, diamkan sampai 3-5 hari. Warna akhir larutan coklat pekat baunya
wangi tape. Larutan siap untuk dipakai.
2.3.2
Starter dengan Larutan Garam
Ø Siapkan
stoples kaca ukuran lima liter, tentukan yang kedap udara.
Ø Imbuhkan
kedalam toples 3 sendok makan gula dapur, encerkan dengan 5 liter air bersih
aduk hingga rata.
Ø Tentukan
sebagian potong sayuran hijau seperti kangkung, atau kulit buah-buahan seperti
pepaya, pisang. Lumat material itu dengan jus, masukkan kedalam toples.
Ø Tutup toples
dengan rapat, diamkan 3-5 hari. Jika baunya enak, seperti bau tape atau alkohol
berarti larutan telah siap dipakai (Ambarwati, 2004).
2.4 Potensi Limbah Ternak Sebagai Kompos
Kotoran dan air kencing
merupakan limbah ternak yang terbanyak dihasilkan dalam pemeliharaan ternak
selain limbah yang berupa sisa pakan. Pada umumnya setiap kilogram daging sapi
yang dihasilkan ternak sapi potong juga menghasilkan 25 kg kotoran padat.Besarnya
limbah padat yang dihasilkan dari usaha penggemukan sapi potong berpotensi
dimanfaatkan menjadi sumber kompos dan berpotensi untuk dijadikan sumber
pendapatan tambahan dari usaha penggemukan sapi potong. Sebagai contoh, untuk
penggemukan dengan target pertambahan berat badan harian (PBBH) sebesar 0,5 kg
akan dihasilkan sebanyak 12,5 kg kotoran per hari. Jika target penggemukan
adalah pertambahan berat badan sebesar 90 kg dalam satu periode penggemukan
selama 6 bulan akan dihasilkan kotoran sebanyak 2,2 ton dari seekor ternak
setiap satu periode penggemukan. Jika kotoran ternak dan sisa pakan diproses
menjadi kompos maka setidaknya dari setiap ekor sapi penggemukan dapat
dihasilkan 1,5 ton kompos per 6 bulan (Soeparman, 2001).
Pengomposan merupakan
proses biodegradasi bahan organik menjadi kompos dimana proses dekomposisi atau
penguraian dilakukan oleh bakteri, yeast dan jamur. Untuk mempercepat proses
dekomposisi bahan-bahan limbah organik menjadi pupuk organik yang siap dimanfaatkan
oleh tanaman dilakukan proses penguraian secara artifisial. Kotoran ternak sapi
dapat dijadikan bahan utama pembuatan kompos karena memiliki kandungan
nitrogen, potassium dan materi serat yang tinggi. Kotoran ternak ini perlu
penambahan bahan-bahan seperti serbuk gergaji, abu, kapur dan bahan lain yang
mempunyai kandungan serat yang tinggi untuk memberikan suplai nutrisi yang
seimbang pada mikroba pengurai sehingga selain proses dekomposisi dapat
berjalan lebih cepat juga dapat dihasilkan kompos yang berkualitas tinggi
(Soeparman, 2001).
2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengomposan
2.5.1 Rasio C/N Bahan Baku
Rasio C/N yang efektif unhrk
pengomposan berkisar antara 30:1 hingga 40:1. Mikroba memecah senyawa C sebagai
sumber energi dan menggunakan N untuk sintesis protein. Pada rasio C/N di
antara 30 hingga 40, mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk
sintesis protein. Apabila rasio C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N
untuk sintesis protein sehingga defomposisi berjalan lambat. Selama proses
pengomposan itu rasio C/N akan terus menurun. Kompos yang telah matang memiliki
rasio C/N-nya kurang dari 20 (Isroi & Yuliarti, 2009).
2.5.2 Ukuran Partikel
Aktivitas mikroba terjadi di antara
permukaan area dan udara. Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan
kontak antara mikroba dengan bahan organik sehingga proses pengomposan dapat
terjadi lebih cepat. Ukuran pertikel juga menentukan besarnya ruang antar bahan
(porositas). Untuk meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil
ukuran partikel bahan, misalnya dengan cara mencacahnya kecuali kotoran hewan
(Isroi & Yuliarti, 2009).
2.5.3 Aerasi
Pengomposan dapat berjalan cepat
bila kondisi oksigen mencukupi (aerob). Aerasi alami berlangsung saat terjadi
peningkatan suhu, yang menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih
dingin masuk kedalam tuppukan bahan kompos. Namun demikian, hal itu sangat
tergantung pada ketebalan tumpukan bahan. Jika tumpukan bahan terlalu tebal
maka aerasi akan berjalan lebih lambat. Aerasi juga ditentukan oleh porositas
dan kandungan air bahan (kelembaban). Apabila aerasi terhambat maka akan
terjadi proses anaerob yang menghasilkan bau yang tidak sedap. Aerasi dapat
ditingkatkan dengan melakukan pembalikan atau dengan pengaliran udara di dalam
tumpukan bahan organik yang hendak dikomposkan itu (Isroi & Yuliarti,
2009).
2.5.4 Porositas
Porositas adalah rungan di antara partikel di dalam tumpukan bahan kompos.
Porositas di hitung dengan mengatur volume rongga dibagi dengan volume total.
Rongga-rongga itu akan terisi air dan udara yang memasok oksigen untuk proses
pengomposan. Apabila rongga dipenuhi oleh air maka pasokan oksigen akan
berkurang dan proses pengomposan akan terganggu (Isroi & Yuliarti, 2009).
2.3.5 Kelembapan
Kelembaban memengang peranan yang sangat penting dalam proses metabolisme
mikroba yang secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap pasokan oksigen.
Mikroorganisme dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut
larut dalam air. Kelembaban 40-60 % adalah kisaran optimum untuk metabolisme
mikroba, sehingga sangat baik untuk proses pengomposan. Apabila kelembaban di
bawah 40%, aktivitas mikroba akan menurun dan aktivitasnya akan lebih rendah
lagi pada kelembaban l5%. Apabila kelembabannya lebih dari 60%, unsur hara akan
tercuci, volume udara akan berkurang. Akibatnya, aktivitas mikroba akan menurun
dan akan terjadi fermentasi anaerob yang meninbulkan bau tidak sedap (Isroi
& Yuliarti, 2009).
2.5.6 Temperatur
Temperatur atau panas sangatlah penting dalam proses pengomposan. Panas
dihasilkan dari aktivitas mikroba. Ada hubungan langsung antara peningkatan
suhu dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi temperatur, semakin tinggi
aktivitas metabolisme, semakin banyak konsumsi oksigen, semakin cepat pula
proses dekomposisi. Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada tumpukan
bahan organik. Temperatur yang berkisar antara 30-700 menunjukkan
akfivitas pengomposan yang cepat. Suhu yang lebih tinggi dari 700C
akan membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba thermofilik saja yang dapat
bertahan hidup. Suhu yang tinggi juga akan membunuh mikroba patogen tanaman dan
benih gulma (Isroi & Yuliarti, 2009).
2.5.7
Keasaman (pH)
Proses pemgomposan dapat terjadi pada kisaran pH antara 6,5 sampai 7,5, pH kotoran ternak
umumnya berkisar antan 6,8 hingga 7,4. Baktei lebih senang pada pH netral,
fungi berkembang cukup baik pada kondisi pH agak asam. Kondisi yang alkali kuat
menyebabkan kehilangan nitrogen, hal ini kemungkinan terjadi apabila
ditambahkan kapur pada saat pengomposan berlangsung. Proses pengomposan akan
menyebabkan terjadinya perubahan pada bahan organik dan pH-nya. Sebagai contoh,
proses pelepasan asarn, secara temporer atau lokal, akan menyebabkan penurunan
pH (keasaman), sedangkan produksi amonia dari senyawa-senyawa yang mengandung
nitrogen akan meningkatkan pH pada fase awal pengomposan. pH kompos yang sudah
matang biasanya mendekati netral (Isroi & Yuliarti 2009).
2.5.8
Kandungan Hara
Kandungan N, P dan K juga penting dalam proses pengomposan. Ketiga unsur
ini biasanya terdapat di dalam bahan kompos dari peternakan. Hara ini
dimanfaatkan oleh mikroba selama proses pengornposan (Isroi & Yuliarti,
2009). Kandungan unsur hara N, P, dan K dapat dilihat pada Tabel dibawah ini:
Tabel 2.1. Kandungan N, P, dan K
dalam Kotoran sapi
Bobot
Badan (kg)
|
N(%)
|
P(%)
|
K(%)
|
277
|
28.1
|
9.1
|
20
|
340
|
42.2
|
13.6
|
30
|
454
|
56.2
|
18.2
|
39.9
|
567
|
70.3
|
22.7
|
49.9
|
Sumber : vanderholm
(1979) dalam Undang-undang (2002)
Dari tabel
di atas, dapat kita lihat bahwa bobot badan sangat mempengaruhi kadar unsur
hara N, P, dan K, yang mana semakin berat bobot badan semakin banyak unsur hara
yang dikandung.
2.5.9 Kandungan
Bahan Berbahaya
Beberapa bahan organik mungkin mengandung bahan yang berbahaya bagi kehidupan
mikroba. Logam-logam berat, seperti Hg, Cu, Zn, Nickel, Cr adalah beberapa
bahan yang masuk dalam kategori ini. Logam-logam berat itu akan mengalami
imobilisasi selama proses pengomposan (Isroi & Yuliarti, 2009).
2.6 Pengertian Biogas
Biogas adalah gas yang dihasilkan
dari proses penguraian bahan-bahan organik oleh mikroorganisme pada kondisi
langka oksigen (anaerob). Komponen biogas antara lain sebagai berikut : ± 60 %
CH4 (metana), ± 38 % CO2 (karbon dioksida) dan ± 2 % N2, O2, H2, & H2S. Biogas
dapat dibakar seperti elpiji, dalam skala besar biogas dapat digunakan sebagai
pembangkit energi listrik, sehingga dapat dijadikan sumber energi alternatif
yang ramah lingkungan dan terbarukan. Sumber energi Biogas yang utama yaitu
kotoran ternak Sapi, Kerbau, Babi dan Kuda (Engler, 200).
Di negara Cina Sejak tahun 1975
"biogas for every household".
Pada tahun 1992, 5 juta rumah tangga di China menggunakan biogas. Reaktor
biogas yang banyak digunakan adalah model sumur tembok dengan bahan baku
kotoran ternak & manusia serta limbah pertanian. Kemudian di negara India
Dikembangkan sejak tahun 1981 melalui "The
National Project on Biogas Development" oleh Departemen Sumber Energi
non-Konvensional. Tahun 1999, 3 juta rumah tangga menggunakan biogasReaktor
biogas yang digunakan model sumur tembok dan dengan drum serta dengan bahan
baku kotoran ternak dan limbah pertanian. Dan yang terakhir negara Indonesia
Mulai diperkenalkan pada tahun 1970-an, pada tahun 1981 melalui Proyek
Pengembangan Biogas dengan dukungan dana dari FAO dibangun contoh instalasi
biogas di beberapa provinsi (Engler, 200).
Penggunaan biogas belum cukup
berkembang luas antara lain disebabkan oleh karena masih relatif murahnya harga
BBM yang disubsidi, sementara teknologi yang diperkenalkan selama ini masih
memerlukan biaya yang cukup tinggi karena berupa konstruksi beton dengan ukuran
yang cukup besar. Mulai tahun 2000-an telah dikembangkan reaktor biogas skala
kecil (rumah tangga) dengan konstruksi sederhana, terbuat dari plastik secara
siap pasang (knockdown) dan dengan
harga yang relatif murah. Manfaat energi biogas adalah sebagai pengganti bahan
bakar khususnya minyak tanah dan dipergunakan untuk memasak kemudian sebagai
bahan pengganti bahan bakar minyak (bensin, solar). Dalam skala besar, biogas
dapat digunakan sebagai pembangkit energi listrik. Di samping itu, dari proses
produksi biogas akan dihasilkan sisa kotoran ternak yang dapat langsung
dipergunakan sebagai pupuk organik pada tanaman / budidaya pertanian. Potensi
pengembangan Biogas di Indonesia masih cukup besar. Hal tersebut mengingat
cukup banyaknya populasi sapi, kerbau dan kuda, yaitu 11 juta ekor sapi, 3 juta
ekor kerbau dan 500 ribu ekor kuda pada tahun 2005. Setiap 1 ekor ternak
sapi/kerbau dapat dihasilkan + 2 m3 biogas per hari. Potensi
ekonomis Biogas adalah sangat besar, hal tersebut mengingat bahwa 1 m3
biogas dapat digunakan setara dengan 0,62 liter minyak tanah. Di samping itu
pupuk organik yang dihasilkan dari proses produksi biogas sudah tentu mempunyai
nilai ekonomis yang tidak kecil pula (Engler, 200).
2.7
Proses Pembuatan Biogas
Prinsip
pembuatan biogas adalah adanya dekomposisi bahan organik secara anaerobik
(tertutup dari udara bebas) untuk menghasilkan gas yang sebagian besar adalah
berupa gas metan (yang memiliki sifat mudah terbakar) dan karbon dioksida, gas
inilah yang disebut biogas. Proses dekomposisi anaerobik dibantu oleh sejumlah
mikroorganisme, terutama bakteri metan. Suhu yang baik untuk proses fermentasi
adalah 30-55oC, dimana pada suhu tersebut mikroorganisme mampu
merombak bahan bahan organik secara optimal. Menurut Putro, S (2007) Hasil
perombakan bahan bahan organik oleh bakteri adalah gas metan seperti yang
terlihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 2.2 Komposisi biogas (%) kotoran sapi dan campuran kotoran ternak dengan sisa
pertanian
Jenis gas
biogas
|
Kotoran
sapi
|
Kotoran
sapi + sisa Pertanian
|
Metan
(CH4)
|
65,7
|
54 – 70
|
Karbon
dioksida (CO2)
|
27,0
|
45 – 57
|
Nitrogen
(N2)
|
2,3
|
0,5 - 3,0
|
Karbon
monoksida (CO)
|
0
|
0,1
|
Oksigen
(O2)
|
0,1
|
6,0
|
Propena
(C3H8)
|
0,7
|
-
|
Hidrogen
sulfida(H2S)
|
-
|
Sedikit
|
Nilai
kalor (kkal/m2)
|
6513
|
4800 –
6700
|
Sumber : Putro, (2007)
Bangunan
utama dari instalasi biogas adalah Digester yang berfungsi untuk menampung gas
metan hasil perombakan bahan bahan organik oleh bakteri. Jenis digester yang
paling banyak digunakan adalah model continuous feeding dimana pengisian bahan
organiknya dilakukan secara kontinu setiap hari. Besar kecilnya digester
tergantung pada kotoran ternak yamg dihasilkan dan banyaknyaÿ biogas yang
diinginkan. Lahanÿ yang diperlukan sekitar 16 m2. Untuk membuat digester
diperlukan bahan bangunan seperti pasir, semen, batu kali, batu koral, bata
merah, besi konstruksi, cat dan pipa prolon (Putro, 2007)
Bio gas sangat mudah diproduksi. Bahan
dasarnya berupa kotoran sapi diaduk ke dalam drum. Komposisinya setengah drum
diisi kotoran sapi sebanyak kira-kira tiga argo (kereta dorong yang biasa untuk
mengangkut bahan bangunan). Baru seperempatnya ditambahi air. Setelah komposisi
itu terpenuhi, kotoran sapi dan air diaduk merata. Ampas kotoran dari
rumput-rumputan yang belum halus oleh proses pencernaan di dalam perut sapi
dipisahkan. Ini dilakukan agar tidak terjadi penyumbatan saat dimasukkan ke
dalam reaktor (Putro, 2007)
Di dalam reator proses pembuatan gas itu
terjadi secara alami. Gas ini pun langsung dapat dialirkan ke kompor melalui
pipa penghubung reaktor dan kompor dan nyala api pun bisa didapatkan. Kompor
siap dipakai. Dengan campuran sebanyak satu drum ini, kompor bisa bertahan
selama seharian penuh. Bahkan tidak mati walau dipakai terus menerus selama
empat jam lamanya, jika bahan bakunya melimpah dan reaktor terisi terus (Putro, 2007)
Prinsipnya biogas bahannya adalah materi
organik (bisa sisa-sisa tumbuhan, kotoran hewan). Pertama harus disiapkan
starter (diambil dari kotoran sapi/ruminantia, kira-kira 1jerigen, simpan
selama 2 minggu. Disiapkan kontainer (bisa menggunakan drum bekas yang di
lubangi salah satu sisinya. Siapkan drum lain berukuran lebih kecil dengan
keran. Siapkan kotoran sapi, kerbau, kuda, atau kotoran hewan lain dan sisa
dedauanan/rumput. Masukan 1 ember limbah organik tersebut dalam drum, tambahkan
satu ember air, aduk, demikian seterusnya sampai volume drum 80%, masukan
starter, aduk hingga merata. Masukan drum yang lebih kecil. Biarkan
kira-kira 4 minggu, sudah mulai dihasilkan gas, dengan indikasi drum kecil
terangkat.un-tak-beli-minyak-tanah. Berdasarkan ilmu dan pengalaman yang saya
dapat dari tempat kerja, yang pertama harus kita punya adalah reaktornya
itu sendiri karena di tempat itu tempat terjadinya reaksi dihasilkan gas CH4
(metan).
Cara kerja membuat
biogas:
a. Mencampurkan kotoran sapi
yang masih baru keluar dari anus sapi dengan air (perbandingannya 1:1) di bak
pencampuran/tempat yang telah disediakan.
b. Setelah itu, campuran
itu akan masuk ke dalam reaktor /digesternya dan disitu akan terjadi reaksinya.
c. Gas yang dihasilkan
akan tertampung dengan sendirinya melalui saluran pipa yang telah disambungkan
ke tempat penampungan gas.
d. Gas yang dihasilkan
dapat dibakar dan menjadi api sehingga bisa digunakan untuk memasak.
2.8
Teknologi Digester
Saat
ini berbagai bahan dan jenis peralatan biogas telah banyak dikembangkan
sehingga dapat disesuaikan dengan karakteristik wilayah, jenis, jumlah dan
pengelolaan kotoran ternak. Secara umum terdapat dua teknologi yang digunakan
untuk memperoleh biogas. Pertama, proses yang sangat umum yaitu fermentasi
kotoran ternak menggunakan digester yang didesain khusus dalam kondisi anaerob.
Kedua, teknologi yang baru dikembangkan yaitu dengan menangkap langsung gas
metan dari lokasi tumpukan sampah tanpa harus membuat digester khusus (Harahap,
1978). Beberapa keuntungan kenapa digester anaerobik lebih banyak digunakan antara
lain :
1. Keuntungan pengolahan limbah
a.
Digester anaerobik merupakan proses pengolahan limbah
yang alami.
b.
Membutuhkan lahan yang lebih kecil dibandingkan dengan
proses kompos aerobik ataupun penumpukan sampah
c.
Memperkecil volume atau berat limbah yang dibuang
d.
Memperkecil rembesan polutan
2.
Keuntungan energi
a.
Proses produksi energi bersih
b.
Memperoleh bahan bakar berkualitas tinggi dan dapat
diperbaharui
c.
Biogas dapat dipergunakan untuk berbagai penggunaan
3.
Keuntungan lingkungan .
a.
Menurunkan emisi gas metan dan karbondioksida secara
signifikan
b.
Menghilangkan bau
c.
Menghasilkan kompos yang bersih dan pupuk yang kaya
nutrisi
d.
Memaksimalkan proses daur ulang
e.
Menghilangkan bakteri coliform sampai 99% sehingga
memperkecil kontaminasi sumber air
4.
Keuntungan ekonomi
Lebih ekonomis
dibandingkan dengan proses lainnya ditinjau dari siklus ulang proses Bagian utama dari
proses produksi biogas yaitu tangki tertutup yang disebut digester. Desain
digester bermacam-macam sesuai dengan jenis bahan baku yang digunakan,
temperatur yang dipakai dan bahan konstruksi. Digester dapat terbuat dari cor
beton, baja, bata atau plastik dan bentuknya dapat berupa seperti silo, bak,
kolam dan dapat diletakkan di bawah tanah. Sedangkan untuk ukurannya bervariasi
dari 4-35 m3. Biogas dengan ukuran terkecil dapat dioperasikan
dengan kotoran ternak 3 ekor sapi, 7 ekor babi atau 500 ekor unggas.
Biogas yang
dihasilkan dapat ditampung dalam penampung plastik atau digunakan langsung pada
kompor untuk memasak, menggerakan generator listrik, patromas biogas,
penghangat ruang/kotak penetasan telur dll.
2.9 Manfaat
Biogas
Manfaat energi biogas adalah sebagai
pengganti bahan bakar khususnya minyak tanah dan dipergunakan untuk memasak
kemudian sebagai bahan pengganti bahan bakar minyak (bensin, solar). Dalam
skala besar, biogas dapat digunakan sebagai pembangkit energi listrik. Di
samping itu, dari proses produksi biogas akan dihasilkan sisa kotoran ternak
yang dapat langsung dipergunakan sebagai pupuk organik pada tanaman/budidaya
pertanian. Potensi pengembangan Biogas di Indonesia masih cukup besar. Hal
tersebut mengingat cukup banyaknya populasi sapi, kerbau dan kuda, yaitu 11
juta ekor sapi, 3 juta ekor kerbau dan 500 ribu ekor kuda pada tahun 2005.
Setiap 1 ekor ternak sapi/kerbau dapat dihasilkan + 2 m3 biogas per
hari. Potensi ekonomis Biogas adalah sangat besar, hal tersebut mengingat bahwa
1 m3 biogas dapat digunakan setara dengan 0,62 liter minyak tanah.
Di samping itu pupuk organik yang dihasilkan dari proses produksi biogas sudah
tentu mempunyai nilai ekonomis yang tidak kecil pula (Rahayu, 2009).
2.10 Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Kesuksesan Pemanfaatan Biogas Kotoran Ternak
Untuk
memanfaatkan kotoran ternak menjadi biogas, diperlukan beberapa syarat yang
terkait dengan aspek teknis, infrastruktur, manajemen dan sumber daya manusia.
Bila faktor tersebut dapat dipenuhi, maka pemanfaatan kotoran ternak menjadi
biogas sebagai penyediaan energi dipedesaan dapat berjalan dengan optimal
(Sulaeman, 2008).
Menurut Sulaeman, D. (2008) terdapat sepuluh
faktor yang dapat mempengaruhi optimasi pemanfaatan kotoran ternak menjadi
biogas yaitu :
1.
Ketersediaan ternak
Jenis, jumlah dan sebaran ternak di suatu daerah dapat
menjadi potensi bagi pengembangan biogas. Hal ini karena biogas dijalankan
dengan memanfaatkan kotoran ternak. Kotoran ternak yang dapat diproses menjadi
biogas berasal dari ternak ruminansia dan non ruminansia seperti sapi potong,
sapi perah dan babi; serta unggas.
Jenis ternak mempengaruhi jumlah kotoran yang
dihasilkannya. Untuk menjalankan biogas skala individual atau rumah tangga
diperlukan kotoran ternak dari 3 ekor sapi, atau 7 ekor babi, atau 500 ekor
ayam.
2.
Kepemilikan Ternak
Jumlah ternak yang dimiliki oleh peternak menjadi
dasar pemilihan jenis dan kapasitas biogas yang dapat digunakan. Saat ini
biogas kapasitas rumah tangga terkecil dapat dijalankan dengan kotoran ternak
yang berasal dari 3 ekor sapi atau 7 ekor babi atau 500 ekor ayam. Bila ternak
yang dimiliki lebih dari jumlah tersebut, maka dapat dipilihkan biogas dengan
kapasitas yang lebih besar (berbahan fiber atau semen) atau beberapa biogas
skala rumah tangga.
3.
Pola Pemeliharaan Ternak
Ketersediaan kotoran ternak perlu dijaga agar biogas
dapat berfungsi optimal. Kotoran ternak lebih mudah didapatkan bila ternak
dipelihara dengan cara dikandangkan dibandingkan dengan cara digembalakan.
4.
Ketersediaan Lahan
Untuk membangun biogas diperlukan lahan disekitar
kandang yang luasannya bergantung pada jenis dan kapasitas biogas. Lahan yang
dibutuhkan untuk membangun biogas skala terkecil (skala rumah tangga) adalah 14
m2 (7m x 2m). Sedangkan skala komunal terkecil membutuhkan lahan
sebesar 40m2 (8m x 5m).
5.
Tenaga Kerja
Untuk mengoperasikan biogas diperlukan tenaga kerja
yang berasal dari peternak/pengelola itu sendiri. Hal ini penting mengingat
biogas dapat berfungsi optimal bila pengisian kotoran ke dalam reaktor
dilakukan dengan baik serta dilakukan perawatan peralatannya.
Banyak kasus mengenai tidak beroperasinya atau tidak
optimalnya biogas disebabkan karena: pertama, tidak adanya tenaga kerja
yang menangani unit tersebut; kedua, peternak/pengelola tidak memiliki
waktu untuk melakukan pengisian kotoran karena memiliki pekerjaan lain selain
memelihara ternak.
6.
Manajemen Limbah/Kotoran
Manajemen limbah/kotoran terkait dengan penentuan
komposisi padat cair kotoran ternak yang sesuai untuk menghasilkan biogas,
frekuensi pemasukan kotoran, dan pengangkutan atau pengaliran kotoran ternak ke
dalam raktor. Bahan baku (raw material) reaktor biogas adalah kotoran
ternak yang komposisi padat cairnya sesuai yaitu 1 berbanding 3. Pada
peternakan sapi perah komposisi padat cair kotoran ternak biasanya telah
sesuai, namun pada peternakan sapi potong perlu penambahan air agar
komposisinya menjadi sesuai.
Frekuensi pemasukan kotoran dilakukan secara berkala
setiap hari atau setiap 2 hari sekali tergantung dari jumlah kotoran yang
tersedia dan sarana penunjang yang dimiliki. Pemasukan kotoran ini dapat
dilakukan secara manual dengan cara diangkut atau melalui saluran.
7.
Kebutuhan Energi
Pengelolaan kotoran ternak melalui proses reaktor
an-aerobik akan menghasilkan gas yang dapat digunakan sebagai energi. Dengan
demikian, kebutuhan peternak akan energi dari sumber biogas harus menjadi salah
satu faktor yang utama. Hal ini mengingat, bila energi lain berupa listrik,
minyak tanah atau kayu bakar mudah, murah dan tersedia dengan cukup di
lingkungan peternak, maka energi yang bersumber dari biogas tidak menarik untuk
dimanfaatkan. Bila energi dari sumber lain tersedia, peternak dapat diarahkan
untuk mengolah kotoran ternaknya menjadi kompos atau kompos cacing (kascing).
8.
Jarak (kandang-reaktor biogas-rumah)
Energi yang dihasilkan
dari reaktor biogas dapat dimanfaatkan untuk memasak, menyalakan petromak,
menjalankan generator listrik, mesin penghangat telur/ungas dll. Selain itu air
panas yang dihasilkan dapat digunakan untuk proses sanitasi sapi perah.
Pemanfaatan energi ini
dapat optimal bila jarak antara kandang ternak, reaktor biogas dan rumah
peternak tidak telampau jauh dan masih memungkinkan dijangkau instalasi
penyaluran biogas. Karena secara umum pemanfaatan energi biogas dilakukan di
rumah peternak baik untuk memasak dan keperluan lainnya.
9.
Pengelolaan Hasil Samping Biogas
Pengelolaan hasil samping biogas ditujukan untuk
memanfaatkannya menjadi pupuk cair atau pupuk padat (kompos). Pengeolahannya
relatif sederhana yaitu untuk pupuk cair dilakukan fermentasi dengan penambahan
bioaktivator agar unsur haranya dapat lebih baik, sedangkan untuk membuat pupuk
kompos hasil samping biogas perlu dikurangi kandungan airnya dengan cara
diendapkan, disaring atau dijemur. Pupuk yang dihasilkan tersebut dapat digunakan
sendiri atau dijual kepada kelompok tani setempat dan menjadi sumber tambahan
pandapatan bagi peternak.
10.
Srana Pendukung
Sarana pendukung dalam
pemanfaatan biogas terdiri dari saluran air/drainase, air dan peralatan kerja.
Sarana ini dapat mempermudah operasional dan perawatan instalasi biogas.
Saluran air dapat digunakan untuk mengalirkan kotoran ternak dari kandang ke
reaktor biogas sehingga kotoran tidak perlu diangkut secara manual. Air
digunakan untuk membersihkan kandang ternak dan juga digunakan untuk membuat
komposisi padat cair kotoran ternak yang sesuai. Sedangkan peralatan kerja
digunakan untuk mempermudah/meringankan pekerjaan/perawatan instalasi biogas.
Selain sepuluh faktor
di atas, kemauan peternak/pelaku untuk, menjalankan instalasi biogas dan
merawatnya serta memanfaatkan energi biogas menjadi modal utama dalam
pemanfaatan kotoran ternak menjadi biogas. Tanpa adanya kemauan peternak untuk
secara aktif mengoptimalkan biogas, maka faktor-faktor lain tidak akan cukum
membantu dalam optimalisasi pemanfaatan biogas.
2.11 Potensi Limbah Ternak Sebagai Biogas
Sapi
dewasa yang dikandangkan menghasilkan kotoran segar sebanyak 6 sampai 8
kg/hari. Kotoran tersebut dapat langsung digunakan untuk menghasilkan gas bio
dan kemudian limbah padatnya masih dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik.
Gas bio merupakan gas yang dihasilkan dari proses fermentasi tertutup
bahan-bahan organik termasuk kotoran ternak. Fermentasi tertutup dapat
berlangsung jika kotoran dimasukkan dalam satu tempat tertutup yang disebut
reaktor. Untuk skala rumah tangga dengan jumlah ternak 2 – 4 ekor atau suplai
kotoran sebanyak kurang lebih 25 kg/hari cukup menggunakan tabung reaktor
berkapasitas 2500 – 5000 liter yang dapat menghasilkan biogas setara dengan 2
liter minyak tanah/hari dan mampu memenuhi kebutuhan energi memasak satu rumah
tangga pedesaan dengan 6 orang anggota keluarga. Jika harga eceran minyak tanah
Rp. 3.500/liter maka penggunaan biogas dapat mengurangi biaya rumah tangga sebesar
Rp 2.500.000/tahun. Satu reaktor biogas kapasitas 2500 liter membutuhkan biaya
Rp. 3.500.000 dengan umur penggunaan berkisar 10 tahun. Dengan demikian
penggunaan biogas secara nyata menurunkan biaya rumah tangga tani untuk membeli
minyak tanah (Soeparman, 2001).
BAB III
METODELOGI
3.1 Waktu dan Tempat
3.1.1 Waktu
dan tempat pelaksanan praktikum pembuatan kompos sebagai berikut :
Hari :
Selasa
Tanggal : 03
Mei – 10 juni 2016
Tempat : Lab Ilmu Peternakan
Fakultas pertanian dan Perikanan
Universitas Samawa (UNSA) atau
kampus II
3.1.2 Waktu dan tempat pelaksanaan peraktikum pengamatan pembuatan biogas sebagai berikut:
Hari : Jum’at
Tanggal : 17 Juni 2016
Tempat : Desa Penyaring Kec. Moyo
Utara
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
dan bahan praktikum pembuatan kompos yaitu sebagai berikut :
a.
Alat Meliputi:
Ø Sekop
Ø Kardus
Ø Toples
ukuran 5 liter
Ø Camera
b.
Bahan Meliputi :
Ø Dedak
Ø Sekam padi
Ø Air
Ø Daun-daunan
kering
Ø Kulit pisang
Ø Kulit pepaya
Ø Garam
Ø Kangkung
3.2.2 Alat dan bahan dalam pengamatan pembuatan
biogas adalah Camera, Polpoin dan Buku.
3.3 Langkah Kerja
3.3.1 Adapun
langkah kerja dalam pembuatan kompos dengan metode takakura yaitu membuat
starter mikroorganisme, membuat kompos dan kompos kemudian mencampurkan bibit
kompos yang sudah disediakan, diaduk sampai merata setelah semua udah merata
baru air larutan garam atau mikroorganisme tadi yang sudah dibuat dicampurkan
dengan bibit kompos, kemudian diaduk kembali sampai merata atau kelihatan basah
dan di tambah air sedikit, setelah udah tercampur semua dan kelihatan basah
baru kompos tersebut dimasukan dalam kardus atau keranjang takakura dan ditutup
merapat.
3.3.2 Adapun
langkah kerja pembuatan biogas yaitu:
Ø Mempersiapkan
alat dan bahan
Ø Mengumpulkan
bahan dasar yaitu kotoran sapi dan air
Ø Setelah
sudah terkumpul semua baru kotoran sapi dimasukan ketempat pengasukan kompos
dan jangan lupa dimasukan air gunanya untuk mempermudah pengadukan.
Ø Tunggu
beberapa jam baru gas nya bisa di pakai.
3.4
Instalasi Biogas
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Pengamatan Pembuatan Kompos
Adapun hasil pengamatan yang dilakukan saat pelaksanaan peraktikum
pembuatan kompos dengan metode takakura adalah sebagai berikut :
Tabel 4.3
Hasil Pengamatan Kompos
Gambar
|
Keterangan
|
Minggu
pertama kompos berwarna putih, berjamur bersuhu 33oC kemudian kompos di aduk kembali samapai merata didalam
kardus tempat penyimpanan.
|
|
Minggu
kedua, keadaan kompos mulai tumbuh gulma seperti belatung, warna mulai menyerupai
warna tanah, tetapi suhu kurang dari 300C dan kelembababan di
bawah 400C maka dari itu kami menambah kotoran sapi dan menambah
air untuk meningkakan kelembaban dan suhu pada kompos.
|
|
Minggu
ketiga, Kompos sudah jadi tidak berbau dan tidak berjamur warna menyerupai
tanah dan gembur
|
Sumber :
Data Primer 2016
4.2
Pembahasan Kompos
Sampah organik terdiri dari
bahan-bahan penyusun timbunan dan hewan yang berasal dari alam atau dihasilkan
dari kegiatan pertanian, perikanan, rumah tangga. Sampah ini dengan mudah
diuraikan dalam proses alami. Sampah rumah tangga sebagian besar merupakan
bahan organik. Yang termasuk sampah organik, misalnya sampah dari dapur, sisa
tepung, sayuran, kulit buah dan daun. Sampah organik tersebut apabila telah
mengalami proses pelapukan karena adanya interaksi mikroorganisme akan menjadi
pupuk. Dalam pembuatan kompos, hal pertama yang dilakukan yaitu persiapan, baik
bahan maupun tempatnya. Langkah pertama yang harus dipersiapkan yaitu
bahan-bahan organik yang akan dikomposkan dipotong-potong atau dicacah agar
proses pengomposan berlangsung cepat. Selain itu untuk mempercepat pengomposan,
diperlukan dedak halus, sekam padi terutama mikroorganismenya sebagai pengurai
jadi kami mengunakan dengan larutan garam dan air sebagai mikroorganismenya. Karena
bahan-bahan ini akan ditumpuk maka perlu dipersiapkan tempatnya. Untuk
mendapatkan kompos yang lebih terjamin keberhasilannya dibutuhkan beberapa
langkah yang perlu yaitu penyusunan pembuatan kompos.
Langkah yang pertama yaitu
menyediakan tempat dan penyusunan tumpukan bahan kompos. Langkah yang
kedua yaitu pemantauan suhu dan kelembaban, tumpukan dari minggu kedua dengan
Suhu 330C, tumpukan dijaga agar suhu 30-700C suhu ideal.
Dan kelembapannya sekitar 40-60%. Kelembapan ideal ditandai dengan bahan yang
basah, tetapi tidak ada air yang menetes. Langkah ketiga yaitu pembalikkan dan
penyiraman, pembalikkan tumpukan dilakukan jika terjadi kelembaban tumpukkan
diatas 60% maka perlu di tambah sekam padi dan dedak halus karena tumpukkan
terlalu basah, jika kelembaban dibawah 40% tumpukan terlalu kering. Apabila
suhu masih 30-70ºC dan kelembapannya 40-60% tumpukan kompos belum waktunya
dibalik. Tetapi pada pengamatan ini kami mengalami kekeringan pada kompos,
kelembaban dibawah 40% terlalu kering untuk meningkatkan kelembaban kami
menambah sedikit kotoran sapi dan ditambah air supaya kelembaban pada kompos
kembali normal diaduk sampai merata dan ditutup pakai kardus dan karung. Langkah
keempat yaitu pematangan. Kompos yang matang ditandai dengan suhu tumpukan yang
menurun mendekati suhu ruang, tidak berbau busuk, bentuk fisik menyerupai tanah
dan berwarna kehitam-hitaman. Pemotongan berlangsung selama 14 hari. Langkah
kelima yaitu pengayakan kompos, tujuan dilakukan pengayakan yaitu agar
memperoleh ukuran kompos sesuai yang dikehendaki, memilah bahan yang belum
terkomposkan secara sempurna dan mengendalikan mutu kompos. Langkah terakhir
yaitu pengemasan dan penyimpanan kompos yang sudah disaring, dikemas kedalam
kantung atau karung. Setelah itu disimpan ditempat yang kering atau diletakan
diatas papan.
4.3
Pembahasan Biogas
Berdasarkan hasil pengamatan pembuatan biogas di Peternakan Bapak Edi Desa Penyaring Kec. Moyo Utara yaitu proses pengumpulan kotoran ternak/feses menguanakan 2 metode pengumpulan yaitu metode Scraping (mendorong dan menarik mengunakan sekop) dan Flushing (mengunakan air untuk
mengangkut limbah ternak) pengangkutan kotoran ternakpun menggunakan arko diangkut
pada pagi hari, kemudian setelah kotoran ternak sudah terkumpul baru kotoran
ternak dibawah ke tempat pembuatan biogas, kemudian kotoran ternak tersebut
dimasukan ke unit penghancur sikitar 90 kg dengan cara sedikit demi sedikit dan
dimasukan air fungsinya untuk mempermudah penghancuran selain itu juga ada 3
proses yaitu Hidrolisis, pengasaman dan metanogenik, diunit penghancur kita
melakukan pencampuran air dengan kotoran ternak, kemudian diputar ke kiri dan
ke kanan untuk mendapat hasil yang sempurna, kotoran ternakpun mengalir menuju
pipa penghubung dari unit penghancur menuju Digester.
Pengolahan limbah pertanian
berupa kotoran ternak salah satunya dengan melakukan fermentasi secara anaerob,
yaitu menampung kotoran sapi dan difermentasikan pada suatu tempat yang
sangat rapat sehingga proses tersebut dapat berjalan secara anaerob. Sedangkan
faktor lain untuk menciptakan reactor biogas yang baik perlu diperhatikan suhu
fermentasi dimana suhu optimum proses tersebut pada 30-50oC. Dilihat
dari persyaratan lain adalah mengenai pencampuran bahan untuk pembuatan biogas
tersebut, untuk air dan kotoran sapi cukup pada
dosis 1:1.
Fermentasi terjadi didalam digester proses yang berlangsung selama 6 jam untuk mendapatkan biogas yang ideal, Didigester
adalah bila sudah banyak biogas maka kotoran ternak akan tertekan oleh biogas
itu sendiri dan posisi gasnya akan berada diatas dan gaspun keluar melalui pipa
reaktor yang berada dibagian atas digester bisa dihubungkan langsung ke lampu
sebagai penerang dan juga bisa dihubungkan
langsung ke kompor biogas untuk kebutuhan rumah tangga untuk mengatahui ada
atau tiadanya gas bisa dilihat dimanometer N/M3, dimanometer sendiri
kita bisa lihat berapa tekanan gasnya yang dihasilkan oleh kotoran ternak.
Proses fermantasi kalau baru
pertama kali pembuatan biogas maka proses fermentasinya 3 hari 3 malam untuk
menghasilkan gas selanjudnya bisa dipakai setiap hari,
dimasukan pagi hari bisa dipakai di siang hari, setelah biogas didigester habis maka kotoran ternak akan mengembang
dan keluar melaluli pipa penghubung ke Bio Selurry atau tempat pembungan
terakhir dan hasil buangan tersebut dimanfaatkan untuk pembuatan pupuk kompos. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membuat biogas dari kotoran ternak
adalah bahan utama biogas ini berupa kotoran ternak yang masih segar dan bersih
dari rerumputan dan jerami, sehingga pada proses fermentasi harus berupa
kotoran yang terbebas dari benda-benda lain, bahan pakan yang digunakan di desa
penyaring untuk diberikan ke sapi mengunakan bahan pakan dari lamtoro dan
lamtoro + dedak karena serat kasar dari lammtoro sedikit dibandikan dengan
rumput terutama kotoran sapinya juga lebih bagus/halus ketimbang rumput,
mengunakan lamtoro kotoran sapi di dalam lambung sapi lebih cepat keluar di
bandingkan dengan pakan rumput. Sedangkan untuk dana pembutan sekitar 12 juta
untuk 6 m3 dan untuk 4 m3 sekitar 10 juta.
BAB V
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari praktikum tentang pembuatan biogas dengan metode
takakura dan penngamatan pembuatan biogas yaitu sebagai berikut:
1.
Kompos adalah bahan-bahan organik (sampah organik)
yang telah mengalami proses
pelapukan karena adanya interaksi antara mikro organism (bakteri pembusuk) yang bekerja di dalamnya.
2.
Bibit kompos takakura di buat dari dua bahan, yaitu
dedak serta sekam padi. Perbandingan pada dedak serta sekam yaitu 1:1. Aduk
sekam dan dedak hingga rata. Lalu imbuhkan larutan starter yang sudah dibuat
pada awal mulanya lalu aduk hingga rata.
3.
Larutan starter Mikroorganisme dibuat dengan 2 cara
yaitu starter larutan garam dan larutan gula untuk larutan garam seperti
sayuran-sayuran dan buah-buahan sedangkan larutan gula seperti tempe dan youghurt.
Mikroorganisme diambil dari beberapa bahan itu lantaran sifatnya yg tidak
berbau busuk.
4.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengomposan adalah
Rasio C/N bahan baku, ukuran partikel, Aerasi, Porositas, Kelembaban,
Temperatur, Keasaman (pH) dan Kandungan Hara.
5.
Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian
bahan-bahan organik oleh mikroorganisme pada kondisi langka oksigen (anaerob).
6.
Pembuatan
biogas adalah adanya dekomposisi bahan organik secara anaerobik (tertutup dari
udara bebas) untuk menghasilkan gas yang sebagian besar adalah berupa gas metan
(yang memiliki sifat mudah terbakar) dan karbon dioksida, gas inilah yang
disebut biogas.
7.
Manfaat energi biogas adalah sebagai pengganti bahan
bakar khususnya minyak tanah dan dipergunakan untuk memasak kemudian sebagai
bahan pengganti bahan bakar minyak (bensin, solar).
5.2 Saran
Adapun saran dari kami adalah dalam melaksanakan pembutan kompos dengan
metode takakura dan pengamatan pembutatan biogas.
5.2.1 Praktikum
pembutatan kompos agar lebih tertib dan tepat waktu supaya dalam melaksanakan praktikum
tersebut kita bisa mendapatkan pengatahuan yang lebih dan bisa diterapkan kemasyarakat
nantinya.
5.2.2 Pengamatan
pembuatan biogas untuk Peternak milik Pak Edi agar tempat pemberian pakan dan
tempat minum agar dibangun secara permanen mengunakan beton dan air minum
ternak bisa dialirkan ketempat-tempat yang sudah disesdiakan agar lebih mudah
ternak menjangkau air minum.
DAFTAR PUSTAKA
Abutani, S. A, Darlis, Yusrizal, Monica, M, dan Sugihartono, M. 2001.
Penerapan Pola Usaha Tani Terintengrasi Tribionik Sebagai Upaya Peningkatan
Pendapatan Petani. Jurnal Pengabdian Pada
Masyarakat. Erlangga: Jakarta.
Ambarwati, Kusumawati, Y., dan Suswardani, D. L. 2004. Peran Efektive
Mikroorganisme EM4 dalam Meningkatkan Kualitas Fisik dan Biologis
Kompos Ampas Tahu. Jurnal Infokes.
Ana Nurhasanah, T. W. (2009).
Perkembangan Digester Biogas di Indonesia. Pertanian Jakarta.
Anonim. ”Jenis Limbah Peternakan
Sapi”.http://duniasapi.com/id/produk-sapi/1331-cara-mudah-mengolah-kotoran-sapi-.html.
Diakses 29 Juni 2016.
Aprianti, Y . 2005 . Andrias Wiji Setio Pamuji : Penemu reaktor biogas.
Kompas 26 Juni 2016
Arifin, Z., 2006. Pengaruh Aplikasi Pupuk Organik Terhadap Pertumbuhan dan
Hasil Tanaman Padi Sawah. Buletin
Teknologi dan Informasi Pertanian. Penebar Swadaya. Jakarta
Arik, 2007, Sapi-sapi penyelamat dari Putri Cempo, Publikasikan oleh
Majalah Kabari. Jakarta.
Biru. (2010). Model Instalasi Biogas
Indonesia.Jakarta: BIRU
Dahuri, Deri, 2004, Sampah Organik, Kotoran Kerbau Sumber Energi
Alternatif, Sumber Media Indonesia, energi – http://www.energi.lipi.go.id diakses 26
Juli 2016.
Engler, c. r., m.j. Mcfarland and r.d. Lacewell. 2000. Economic and
environmental impact of biogas production and use. http//:dallas
.edu/biogas/eaei .html. diakses 20 Juni 2016
Environmental Services Program. Comparative Assessment on Community Based
Solid Waste Management (CBSWM) – Medan, Bandung, Subang, and Surabaya. November
2006. Development Alternatives, Inc. for USAID.
Harahap, f.m., Apandi dan s. Ginting . 1978. Teknologi Gasbio . Pusat
Teknologi Pembangunan Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Hartuti, S, Sriatun dan Taslimah. 2007. Pembuatan Pupuk Kompos Dari Laimbah
Bunga Kenanga dan Pengaruh Persentase Ziolit Terhadap Ketersedian Nitrogen
Tanah. Jurnal Agresistem. 3 (6) : 45
– 60
Ibrahim, A Saleh, 2008, Bio Phoskko®
Bio Composter ME-1000 ( Rotary Klin),sumber Iklan Baris SwaIklan.com. Powered by
WordPress. Options theme by Justin Tadlock. Rupa,Laporan Hasil Riset
Unggul ITB 2007.
Indriani, Y. H. 2012. Membuat Kompos
Secara Kilat. Penebar Swadaya. Jakarta
Isroi dan Yuliarti, M. 2009. Kompos.
Lily Publisher. Yogyakarta
Mardani, D.Y. 2005. Pengaruh Pupuk Organik dan Lengas Tanah Terhadap
Pertumbuhan Bibit Jambu Mete (Annacardium
occidentale L.). Skripsi.
Fakultas Pertanian. Institut Pertanian (INTAN) Yogyakarta
Mirhani. 2008. Evalusi Penyuluhan Penggunaan Bokasi Kotoran Sapi Terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Rumput Gajah. Jurnal
Agresistem. Penebar swadaya. Jakarta
Munir, M. 1996. Tanah-Tanah Utama
Indonesia, Karakteristik, klasifikasi dan pemanfaatannya. Pustaka Jaya.
Jakarta.
Murbandono, L. HS. 2000. Membuat
Kompos. Penebar swadaya. Jakarta
Prihandini, P. w, dan Purwanto, T. 2007. Petunjuk Teknis Pembuatan Kompos Berbahan Kotoran Sapi. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Putro, S. (2007). Penerapan Instalasi Sederhana Pengolahan Kotoran Sapi
Menjadi Energi Biogas Di Desa Sugihan Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo.
Warta. Jakarta.
Putro, S. 2007. Penerapan Instalasi Sederhana Pengolahan Kotoran Sapi
Menjadi Energi Biogas di Desa sugihan Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo. Jurnal Pengembang Masyarakat. Jakarta.
Rahayu, S, Purwaningsih, D, dan Pujianto. 2009. Pemanfaatan Kotoran Ternak
Sapi Sebagai Sumber Energi Alternatif Ramah Lingkungan Beserta Aspek Sosial
Kulturalnya. Jurnal Inovasi Teknologi.
Yogyakarta.
Refliaty, Tampubolon, G, dan Hendriansyah. 2001. Pengaruh pemberian Kompos
Sisa Biogas Kotoran Sapi Terhadap Perbaikan Beberapa Sifat Fisik Ultisol dan
Hasil Kedelai (Glycine max (L).
Merill). Jurnal Hidrolitan. Penebar
Swadaya. Jakarta
Setiawan, A.1. 2002. Memanfaatkan
Kotoran Ternak. Penebar Swadaya. Jakarta
Sihombing D.T.H. 2000. Teknik Pengelolaan Limbah Kegiatan/Usaha Peternakan. Pusat Penelitian
Lingkungan Hidup. Lembaga Penelitian, Institut Pertanian
Bogor.
Soeparman
dan Suparmin. 2001. Pembuangan Tinja dan Limbah Cair : Suatu Pengantar.Jakarta
: EGC.
Soleh, M., 2006. Penggunaan Biofertilizer (Bokasi) Dalam Upaya Mendukung Pengelolaan Tanarnan Padi. Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian.
Penebar Swadaya. Jakarta
Sugi Rahayu, D. P. (2009).
Pemanfaatan Kotoran Ternak Sapi Sebagai Sumber Energi Alternatif Ramah
Lingkungan Beserta Aspek Sosio Kulturalnya. Inotek, Penebar
Swadaya. Jakarta
Sulaeman, D. (2008). Sepuluh Faktor
Pemanfaatan Biogas Kotoran Ternak. Jakarta: Anonyms
Sulityawati, E dan Nugraha, R. 2005. Efektivitas Kompos Sampah Perkotaan Sebagai Pupuk Organik Dalam
Meningkatkan Produktivitas dan Menurunkan
Biaya Produksi Budidaya Padi. Jurnal
Teknologi Pertanian. Penebar Swadaya. Jakarta
Susanto, R. 2002. Pertanian Organik:
Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Kanisius. Jakarta
Susetya, D. 2001. Pupuk Organik:
untuk Tanaman Pertanian dan Perkebunan. Pustaka Baru Press. Yogyakarta
Teguh Wikan Widodo, A. A. (2006). Rekayasa dan Pengujian Reaktor Biogas
Skala Kelompok Tani Ternak. Jurnal Enjinering Pertanian, yogyakarta.
Udayana Universitas, 2007, Pemanfaatan Sampah Organic Menjadi Kompos
Dengan Bantuan Mikroorganisme. 2009, Siswa Dilatih Mengolah Sampah
Organik, sumber Radar Banjar Masin online.com diakses 26 Juni 2016.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1.1 Hasil
Dokumentasi saat praktikum Pembutan Kompos
Gambar
|
Keterangan
|
Pengumpulan Feses ternak sebagai bahan utama dalam
pembuatan bibit kompos
|
|
Pengangkutan feses ternak sebagai bahan dasar dalam
pembuatan kompos
|
|
Proses
pembuatan mikroorganisme sebagai bahan untuk fermentasi pupuk kompos
|
|
Proses
pembuatan bibit kompos.
|
1.2 Hasil
Dokumentasi Tentang Pengamatan Biogas
Gambar
|
Keterangan
|
Proses pengumpulan
kotoran ternak untuk pembuatan biogas.
|
|
Pengangkutan
kotoran ternak mengunakan argo untuk pembuatan biogas
|
|
Proses pemasukan kotoran ternak
keunit pencampur dalam tahap pembuatan biogas
|
|
Unit pencampur
|
|
Bagian unit pencampur
|
|
Digiester
|
|
Tempat pengecekan ada atau tidak
adanya air
|
|
Pipa saluran ke kompor Biogas
|
|
Manomoter fungsinya untuk melihat
tekanan gas yang dihasilkan.
|
|
Kandang
|
|
Lampu menggunakan
bahan bakar biogas fungsinya sebagai penerang
|
|
Sisa
buangan dari pembuatan biogas bisa dimanfaatkan untuk dijadikan pupuk kompos
|
Langganan:
Postingan (Atom)